Sejarah Gerakan Pramuka SMK Model Patriot IV Ciawigebang
Sejarah : Sunan Cipancar, Limbangan – Garut.
Ulama dan Tokoh Penyebar Islam
Membicarakan sejarah
Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab. Limbangan yang merupakan cikal
bakal pembentukannya. Peran serta kaum ulama yang menyebarkan Islam
hingga mewarnai corak kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah
pentingnya. Tak heran, sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki
sebagai Kota Ulama, karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina
masyarakat Garut.
Salah satu
tokoh ulama sekaligus umara yang perannya tak bisa diabaikan pada masa
awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa Barat, khususnya Garut, adalah
Sunan Cipancar. Selain eksis dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan
tokoh yang menurunkan keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum
kemudian dengan alasan politis, Limbangan dipindahkan dan berubah
menjadi Kab. Garut.
Karena
itulah, tak salah jika masyarakat Garut menziarahi makam Sunan Cipancar
di Kp. Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu
penting selain sekadar berdoa dan memberikan penghormatan atas
jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam, juga untuk menelisik kembali alur
sejarah Kab. Garut, termasuk pesan-pesan moral yang diamanatkan para
leluhur masyarakat Garut sendiri, dalam menata bangunan kehidupan
masyarakatnya. Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui
website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah
Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu
Layakusumah. Prabu Liman Senjaya diganti oleh anaknya yang bernama
Raden Widjajakusumah I alias Sunan Cipancar.
Akan
tetapi literatur lain menjelaskan, yang disebut sebagai Wijayakusumah
(I) adalah kakeknya Sunan Cipancar, yaitu Sunan Rumenggong. Kab.
Limbangan semula merupakan sebuah kerajaan daerah bawahan Kerajaan Besar
Pakuan Pajajaran bernama Kerajaan Kertarahayu, yang didirikan Sunan
Rumenggong di kawasan Gunung Poronggol Limbangan sekitar 1415 M. Sunan
Rumenggong bernama asli Jayakusumah/Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten
Rakean Layaran Wangi/Jaya Permana/Gagak Rancang.
Sumber
lain menyebutkan, Layakusumah mempunyai tiga anak dari Ambot Kasih,
yaitu Hande Limansenjaya Kusumah; saudara kembarnya, Hande Limansenjaya;
dan adiknya, Wastudewa. Hande Limansenjaya Kusumah berputra
Jayakusumah/Panggung Pakuan Wijaya Kusumah/Wijayakusumah
(II)/Limansenjaya Kusumah, yang belakangan disebut Sunan Cipancar.
Namun
nama Limbangan saat ini tinggal berupa sebuah wilayah kecamatan, yang
ditambahi kata Balubur di depannya menjadi Kec. Balubur Limbangan.
Berbeda dengan makam tokoh penyebar Islam lainnya di Garut yang
mendapatkan cukup perhatian pemerintah, makam Sunan Cipancar terkesan
terabaikan. Padahal makam tersebut termasuk situs cagar budaya yang
memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dari
aspek arkeologi, jirat dan nisan makam masih memiliki keaslian sebagai
tradisi peninggalan megalit. Baru beberapa tahun belakangan saja makam
keramat tersebut mendapat perhatian dengan mendapatkan bantuan penataan
lingkungan makam.
Seperti halnya
makam keramat lainnya di Garut, makam Sunan Cipancar juga kerap
dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Sebagai tata krama, para
santri yang ada di kawasan Balubur Limbangan dan sekitarnya, bahkan
sering memulai perjalanan ziarah dari makam Sunan Cipancar. Sebelum
kemudian berziarah ke makam Mbah Wali Syekh Ja’far Shiddiq Cibiuk dan
sejumlah makam keramat lainnya. Puncak kunjungan ziarah biasanya terjadi
pada bulan Mulud. *** (uje Anas Koorlap”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar